Interregnum Inggris di Minangkabau
Saudagar-saudagar Inggris telah memasuki perairan pantai
barat Minangkabau sejak awal abad ke-17.sejak abad 18 jumlah para pedagang
Inggris semakin meningkat paling sedikit 20 perahu, mereka orang Inggris yang
berangkat dari Madras, Benggali, da Bombay.mereka melakukan perdagangan dengan
pedagang local dalam jumlah dagangan yang lebih besar dari belanda. Pada awal
abad ke 19 banyak saudagar Inggris membuka rumah dagang didaerah pantai barat
sumatera yang di berinama Handelbuizen.mereka terlibat secara aktif
dalam ekspor-impor. Banyak dari mereka yang telah membangun usahanya sejak pada
abad 17 dengan memperoleh pinjaman modal dari Bank of Bengkulen.
Inggris berkuasa di daerah Sumatera Barat sejak
tanggal 30 nevember 1975. tujuan Inggris datang ke sumatera barat adalah untuk
mengambil alih pemerintahan dan membangun pemerintahan sendiri atas nama Raja Belanda
karena pada saat itu Negara Belanda tengah di kuasai kaum Patriot sehingga Raja
Belanda mengungsi ke Inggris.selain itu, tujuan penyerahan kekuasaan di Sumatrera
Barat adalah utuk membendung pergerakan Perancis. periode kekuasaan Inggris
disebut masa interregnum Inggris. Setelah menguasai Padang, Inggris
membuka perwakilannya di sejumlah daerah yakni di Air Bangis dan Pulau
Cingkuak. Pada haal pemerintahan, Inggris mengirim sekitar 100 tentara dari
kesatuan Bengali dan tambahan tentara dari Bengkulu.
Secara administratif sumatera barat di jadikan
sebuah Residentie dan penguasa tertinggi disebut Resident. Residen
pertama adalah Edward Cooles (1795-1796). keresidenan Sumatera Barat di bagi
beberapa post. pos-pos tersebut berada di beberapa wilayah yaitu Padang,
Pulau Cingkuak, Pariaman, Air Bangis, Singkel, dan Tapanuli.untuk
mempertahankan daerah tersebut maka di datangkan 150 orang prajurit infantry,
12 prajurit artileri, dan 2 zesponders.
Jumlah rata-rata orang Inggris yang bertugas di
seluruh Sumatera Barat waktu itu adalah 6 perwira Inggris dan251 serdadu,
mariner, dan pegawai.dari jumlah tersebut sebanyak 76 orang adalah tentara
Bengali dan Bugis.
Salah satu perbedaan pemerintahan VOC dengan Inggris
adalah VOC tidak dapat membagun jaringan kedaerah pedalaman, sedangkan Inggris berhasil
masuk kedaerah pedalaman.b keberhasilan ini tidak lain dari seorang yangmenjabat Lu
itenant-Governuer di Bengkulu untuk melakukan perjalana ilmiah kedaerah
pedalaman yaitu Thomas Stamford Raffles. Perjalanan ini memakan waktu sekitar 2 minggu (16-30
juli1818) dan diikuti oleh Raffles berserta empat tim ahli, 50 orang pengawal, beberapa
ratus kuli pembawa barang, dua orang pemuka masyarakat padang dan dua orang
yang mengaku sebagai wakil Raja Minangkabau, dengan bantuan uang dan barang-barang
hadiah, perjalanan Raffles bisa dikatakan berhasil.disana Raffles dapat merekam
dan mencatat keadaan alam, adat istiadat masyarakat darek, bertemu
tokoh-tokoh adat dan juga raja, serta melakukan kotak dengan Kaum Paderi. Dalam
perjalanan pulang Raffles meninggalkan 12 orang serdadu .
Sebagai hasil kekalahan Kaisar Napoleon Bonaparte,
jajahan Belanda yang sempat direbut Inggris harus dikembalikan kepada Belanda.
Minangkabau sempat mengalami apa yang disebut “interregnum Inggris”
(1795-1819). Sir Thomas Stanford Raffles sempat menjelajah pedalaman
Minangkabau sejauh Danau Singkarak bahkan mencoba berhubungan dengan gerakan
“Paderi”, yaitu sebutan bagi gerakan berfaham Wahhabi tersebut di atas, namun
tak berlanjut lebih jauh karena keburu Belanda datang. Belanda menerima kota
Padang pada 1819 dan pos Inggris di pesisir barat Sumatera, dari Natal hingga
Bengkulu, tuntas diserahkan kepada Belanda pada 1825.
Ketika Raffles mencoba berhubungan dengan gerakan
Paderi, gerakan tersebut terlibat konflik dengan tokoh adat yang konon bahkan
berakibat pembunuhan massal anggota istana Pagaruyung. Dengan sedikit
pengecualian, boleh dibilang sebagian besar pedalaman Minangkabau telah dikuasai
mereka.
Raffles terkesan dengan Minangkabau, namun sadar
bahwa Inggris harus mengembalikan wilayah tersebut kepada Belanda setelah
Napoleon Bonaparte dikalahkan. Raffles berusaha supaya pedalaman berada di
bawah Inggris. Usaha merangkul Paderi tersebut tidak berkelanjutan. Tanpa
sadar, justru penjelajahan Raffles sejauh Simawang membuka jalan bagi Belanda
kelak untuk merambah pedalaman. Ketika Belanda hadir kembali, benteng Simawang
diambil Belanda karena berdasar perjanjian Belanda-Inggris perihal tukar
menukar wilyah jajahan, wilayah tersebut adalah jajahan Inggris. Dari Simawang
itulah, Belanda memulai perang dengan Paderi.
Selama interregnum tersebut, gerakan Paderi
memanfaatkan peluang menaklukan pedalaman. Namun sayang, sikap keras yang
dipraktekkan berakibat gerakan tersebut cukup punya banyak musuh. Tersebutlah
riwayat, terjadi pertumpahan darah keluarga ningrat oleh aktivis Paderi. Yang
lolos segera ke Padang dan minta perlindungan Belanda. Segera saja Belanda
menyodorkan perjanjian penyerahan Minangkabau dan disetujui oleh para pengungsi
tersebut. Dengan perjanjian tersebut Belanda merasa sah menaklukan seluruh
Minangkabau karena disetujui oleh apa yang dinilai sebagai wakil rakyat.
Belanda yang dimaksud bukan lagi VOC, namun pemerintah Hindia Belanda dengan
tetap mempertahankan jabatan gubernur jenderal- sebagai wakil Kerajaan Belanda
di Nusantara. Sejak 1799 VOC dibubarkan, segala hutang piutangnya diambil alih
pemerintah Belanda.
Begitu Padang dikembalikan kepada Belanda, James Du
Puy melihat peluang bagus untuk menguasai pedalaman Minangkabau dengan cara
merangkul kaum adat. Kaum adat semisal penghulu atau datuk merasa keberatan
menghapus praktek maksiat semisal main judi dan minum tuak, demikian pula ada
ulama yang menolak faham Wahhabi karena faham TBC (Tahyul, Bid’ah dan Churafat)
sangat menguntungkan mereka, mereka tak suka jika umat mampu bersikap kritis
terhadap mereka. Mereka menilai Belanda akan melindungi mereka dan kepentingan
mereka.
Dengan “pancingan” berupa serangan oleh pasukan Belanda
ke desa Sulitair pada 1821, berkobarlah Perang Paderi –dengan sempat diselingi
gencatan senjata– hingga Imam Bonjol ditangkap pada 1837 dalam perundingan,
mirip dengan kasus penangkapan Pangeran Diponegoro yang mengakhiri Perang Jawa
atau “Perang Diponegoro”.
Ada kesan Perang Paderi kurang dikenal, mungkin
tenggelam oleh nama besar Perang Diponegoro yang berkobar bersamaan dan juga
oleh Perang Aceh kemudian. Padahal perang ini memiliki corak yang berbeda
dengan perang-perang sebelumnya yaitu bobot pembaharuan yang terkandung dalam
gerakan tersebut. Gerakan Paderi adalah gerakan reformis –bahkan revolusioner–
pertama di Nusantara, yang menjadi cikal bakal gerakan berbobot serupa kelak.
Walaupun rezim kolonial sukses menumpasnya, faham yang dibawanya tetap hidup,
bahkan menyebar walau dengan nama lain.
Faham Wahhabi muncul di Jawa dengan wujud organisasi
Muhammadiyah yang berdiri pada 1912, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di
Jogjakarta. Juga, Persatuan Islam (Persis) oleh Ustadz Ahmad Hassan di Bandung.
Kedua organisasi tersebut masih ada saat ini. Di Minangkabau dikenal antara
lain “Kaum Muda”, “Sumatera Thawalib” dan “Persatuan Muslim Indonesia”.
Muhammadiyah juga berkembang pesat di Minangkabau.
Sumber
Kartodirdjo, Sartono. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia
Baru :1500 -1900. Jakarta : PT Gramedia.
www.
Blogspot-Sumaterabarat-minangkabau.com. dari Drs. Zainal Arifin,
Permusuhan dalam Persahabatan, Budaya Politik Masyarakat Minang Kabau,
Universitas Andalas
Sejarah Indonesia Modern, MC. Ricklefs, Penerbit
Gadjah Mada University Press, Jogjakarta.
www. Perang – paderi.org
www. Perang – paderi.org
0 Comments